835 tahun yang lalu, tepatnya pada 2 Oktober 1187, umat Islam bersukacita, terutama yang tinggal di wilayah Al-Quds (Yerusalem). Setelah 88 tahun terpenjara di tanah sendiri di bawah kekuasaan pasukan Salib, datanglah pahlawan yang membebaskan Baitul Maqdis dari penjajahan. Ia adalah Shalahuddin Al-Ayyubi, seorang panglima perang pemberani dan bijaksana, kunci pembebas Baitul Maqdis dari pasukan Salib.
Wahai Al-Quds … Wahai Kotaku
Wahai Al-Quds … Wahai Cintaku
Esok hari, akan mekar tanaman-tanaman lemon
Bulir-bulir padi yang menghijau dan pohon zaitun berbahagia
Dan banyak mata tertawa
Merpati yang bermigrasi akan kembali
Ke atap rumah yang suci
Anak-anak yang bermain akan pulang
Para ayah akan berjumpa dengan anak-anaknya
Di bukit-bukitmu yang berbunga
Wahai Negeriku …
Wahai Negeri Zaitun yang Damai
(Al-Quds, Nizar Qabbani)
Perjalanan Hidup Shalahuddin Al-Ayyubi
Shalahuddin Al-Ayyubi lahir di Benteng Tikrit, sebuah kota tua di tepian Sungai Tigris, pada tahun 1137 M (523 H). Nama aslinya adalah Abul Muzhaffar Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadzi, sementara Shalahuddin yang artinya ‘Keadilan Agama adalah gelar kehormatan yang diberikan atas jasa-jasanya. Orang tuanya berasal dari Azerbaijan dan merupakan keturunan suku Kurdi yang memiliki nasab baik dan terhormat.
Ketika Shalahuddin lahir, ayahnya yang bernama Najmuddin Ayyub sedang menjabat sebagai penguasa Benteng Tikrit. Nahasnya, hari kelahiran Shalahuddin bertepatan dengan pemecatan dan pengusiran ayahnya dari Tikrit oleh penguasa Baghdad kala itu karena saudaranya membuat masalah. Sempat terlintas di benak ayahnya untuk membunuh Shalahuddin yang baru lahir karena dianggap membawa kesialan. Akan tetapi, ia segera mengurungkan niatnya. Siapa sangka, anak yang dulu hendak disia-siakannya itu, bertahun tahun kemudian tercatat di dalam sejarah sebagai seorang pahlawan.
Setelah terusir dari Tikrit, Najmuddin membawa keluarganya perg, tanpa arah dan tujuan. Mereka sempat melewati wilayah Mosul (Irak), dan memutuskan beristirahat dahulu sebelum melanjutkan perjalanan. Saat itulah takdir baik menghampiri Najmuddin. Ia bertemu dengan Imaduddin Zanki, yang menjabat sebagai Sultan Mosul. Imaduddin mengenali Najmuddin karena ia mengingat bahwa saat dulu ia dikejar-kejar tentara Baghdad, Najmuddin yang membantu menyelamatkannya.
Singkat cerita, Najmuddin dan keluarganya mendapat bantuan dari Imaduddin. Tidak hanya memberikan tempat tinggal, Imaduddin juga memberikan sebidang tanah pertanian di Mosul dan jabatan di pemerintahan untuk Najmuddin. Imaduddin memperlakukan keluarga Najmuddin dengan baik, bahkan hingga ia wafat dan digantikan oleh putranya, Nuruddin Zanki.
Ketika Shalahuddin masih kecil, Nuruddin Zanki menaklukkan wilayah Baalbek (Lebanon) kemudian mengangkat Najmuddin, ayahnya Shalahuddin, sebagai gubernur di sana. Shalahuddin kecil juga mengikuti ayahnya pindah ke Baalbek dan menetap di sana sejak usia dua sampai sembilan tahun. Shalahuddin mendapat kualitas pendidikan setara dengan anak penguasa atau raja, hingga membentuk kepribadiannya menjadi disiplin, tangguh, dan berakhlak mulia.
Dari Baalbek, Shalahuddin kemudian pindah lagi ke Damaskus. Shalahuddin mendapatkan pelajaran membaca, menulis, menghafal Al-Qur’an, Fiqh, kaidah bahasa Arab (nahwu), dan syair. Selain itu, Shalahuddin juga belajar tentang strategi perang bersama para tentara. Ia juga berlatih melempar tombak, menunggang kuda, berburu, dan keahlian perang lainnya. Pelajaran-pelajaran tersebut membuat Shalahuddin tumbuh menjadi seorang pemuda yang cerdas, kuat, dan bijaksana.
Shalahuddin pertama kali terlibat dalam perang pada 1163 M, saat usianya 26 tahun. Saat itu, ia dikirim ke Mesir karena situasi sedang kacau akibat konflik internal dan ambisi pasukan Salib yang ingin menguasai Mesir. Melihat potensi yang ada di dalam diri Shalahuddin muda, pemerintah Mesir kemudian memberikan Shalahuddin jabatan sebagai pemimpin keamanan wilayah Mesir, kemudian diangkat menjadi wazir Mesir ketika usianya 30 tahun, dan menjadi penguasa Dinasti Ayyubiyah di Mesir pada 1171 M.
Sepanjang masa pemerintahannya, Shalahuddin Al-Ayyubi telah berhasil membuka sejumlah wilayah, di antaranya Irak, Suriah, Yaman, Maroko, Damaskus, Aleppo, Mosul, dan pesisir pantai Afrika Utara. Ia juga melakukan pengembangan-pengembangan sehingga membuatnya diberikan julukan Al-Mu’iz li Amiril Mukminin (Penguasa yang mulia) dan Sultanul Islam wa Muslimin (Pemimpin umat Islam dan orang Muslim).
Di antara penaklukan-penaklukan yang berhasil Shalahuddin capai, salah satu yang termasyhur adalah penaklukan Baitul Maqdis. Pada saat itu, Baitul Maqdis berada di bawah kekuasaaan pasukan Salib dan kondisi umat Islam di Baitul Maqdis sangat mengenaskan. Dalam invasi pertama pasukan Salib ke Baitul Maqdis pada 1099, sebanyak 70.000 muslim dibantai, tak peduli apakah itu warga sipil, perempuan, atau anak-anak.
Ketika perang Hittin pecah, Shalahuddin adalah panglima yang memimpin perlawanan untuk membebaskan Kota Suci Baitul Maqdis dari tangan pasukan Salib. Perang Hittin berlangsung selama tiga bulan dan selama itu juga Shalahuddin terus mengusahakan strategi terbaik untuk menaklukkan Baitul Maqdis. Impian tersebut akhirnya terwujud pada 2 Oktober 1187, ketika pasukan Shalahuddin berhasil memukul mundur pasukan Salib dari Baitul Maqdis.
Berbanding terbalik dengan pasukan Salib yang menaklukkan Baitul Maqdis dengan pembantaian, Shalahuddin menaklukkan Baitul Maqdis dengan adab terbaik sesuai ajaran Islam. Tidak ada pembantaian, tidak ada perampasan harta, tidak ada balas dendam. Shalahuddin bahkan memerintahkan pasukannya untuk mengawal dan memastikan keamanan penduduk Nasrani yang saat itu memutuskan untuk keluar dari Baitul Maqdis. Sejak saat itu, Baitul Maqdis beserta kota-kota di sekelilingnya seperti Nablus, Jericho, Ramleh, Caesarea, Arsuf, Jaffa, Beirut, dan Ashkelon berada di bawah kekuasaan Shalahuddin hingga beliau wafat pada 1193 M.
Peristiwa Penaklukan Baitul Maqdis
Sebelum Shalahuddin membebaskan Baitul Maqdis dari tangan pasukan Salib, tempat suci tersebut sempat berada di bawah kekuasaan umat Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa itu, umat Islam sedang berada di puncak kejayaan. Setahun sebelum Umar bin Khattab menaklukkan Baitul Maqdis, umat Islam telah berhasil mengalahkan dua imperium terbesar kala itu yaitu Romawi dan Persia. Pasukan Romawi dikalahkan dalam Perang Yarmuk di bawah pimpinan Abu Ubaidah bin Jarrah dan Khalid bin Walid, sementara pasukan Persia dikalahkan dalam Perang Qadisiya di bawah pimpinan Saad bin Abi Waqqas.
Kemenangan umat Islam dalam dua peperangan besar tersebut membuka jalan menuju Baitul Maqdis. Pada masa Umar bin Khattab, pasukan Muslim mengepung Baitul Maqdis selama enam bulan yaitu sejak November 636 M hingga April 637 M. Perjuangan dan penantian panjang tersebut terbayar tuntas ketika Baitul Maqdis diserahkan kepada Umar bin Khattab, bahkan kunci kota tersebut diserahkan langsung oleh Patriark Sophronius, wakil Romawi Byzantium di Baitul Maqdis, kepada Khalifah Umar.
Selama ratusan tahun, Baitul Maqdis kemudian berada di bawah kekuasaan umat Islam dan melewati pergantian beberapa dinasti mulai dari Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyyah, hingga Kerajaan Saljuk. Masalah mulai muncul di masa Fathimiyyah dan Saljuk karena dua dinasti tersebut seringkali berkonflik akibat perbedaan mazhab. Konflik tersebut berujung pada perebutan wilayah Syam dan Hijaz, yang di dalamnya terdapat tiga kota suci yaitu Makkah, Madinah, dan Baitul Maqdis (Al-Quds).
Pertikaian-pertikaian tersebut kemudian dimanfaatkan oleh pasukan Salib untuk melakukan penaklukan-penaklukan terhadap wilayah umat Islam. Pada 1097 M, pasukan Salib mulai menaklukkan wilayah Anatolia, Syam, Antiokia, hingga Suriah, sebelum mengincar Baitul Maqdis. Pada 1099, pasukan Salib menyerbu Baitul Maqdis dengan brutal. Sebanyak 70.000 umat muslim dibantai, tak peduli apakah itu warga sipil, perempuan, atau anak-anak. Darah menggenang hingga mata kaki, jenazah-jenazah korban ditumpuk layaknya benda.
Tidak berhenti sampai di sana, pasukan Salib kemudian mengubah Masjid al-Aqsa menjadi Istana Yerusalem dan Masjid Kubah Batu (Dome of the Rock) diubah menjadi gereja. Sejak saat itu, Baitul Maqdis berubah menjadi Kerajaan Yerusalem di bawah kekuasaan pasukan Salib. Sementara itu, pemimpin-pemimpin muslim yang silih berganti belum ada yang bisa mengambil alih kembali Baitul Maqdis, hingga datangnya Shalahuddin al-Ayyubi.
Pembebasan Baitul Maqdis oleh Shalahuddin al-Ayyubi bukanlah penaklukan instan yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara seperti pasukan Salib. Penaklukan Baitul Maqdis adalah buah dari perjuangan panjang selama bertahun-tahun. Fondasi telah dibentuk sejak masa Imaduddin Zanki dengan memberi pendidikan dan pelatihan terbaik bagi pasukannya dan kaum muslimin, juga menanamkan mimpi tentang pembebasan Baitul Maqdis. Hal ini kemudian dilanjutkan oleh putranya, Nururuddin Zanki, hingga berhasil ditaklukkan sepenuhnya pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi.
Seperti yang telah diuraikan di pembahasan sebelumnya, pada masa Imaduddin, Nuruddin, dan Shalahuddin terjadi banyak penaklukan mulai dari Mesir, Suriah, Lebanon, hingga wilayah Afrika Utara. Penaklukan-penaklukan tersebut sesungguhnya merupakan salah satu strategi yang dilancarkan untuk memuluskan jalan demi membebaskan Baitul Maqdis dari tangan pasukan Salib.
Pada 1177 M, Shalahuddin berperang dengan pasukan Salib yang saat itu berada di bawah pimpinan Raynald dari Chatillon. Pertempuran tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Battle of Montgisard yang bertujuan untuk mengambil alih kembali wilayah-wilayah kekuasaan umat Islam. Akan tetapi, kala itu Shalahuddin memutuskan untuk mundur dari pertempuran yang mengakibatkan Raynald mengganggu perdagangan di Laut Merah yang merupakan jalur utama jamaah yang akan menunaikan ibadah haji di Makkah dan Madinah.
Pasca Battle of Montgisard, Shalahuddin kembali maju untuk menyerbu pasukan Salib pada 1183 M karena Raynald mengancam akan menyerang Makkah dan Madinah. Shalahuddin memperoleh kemenangan pada pertempuran kali itu. Hal tersebut membuat Raynald murka, hingga ia membalaskan dendam dengan membunuh kabilah yang akan melaksanakan ibadah haji.
Tindakan keji tersebut menyulut amarah umat Islam, termasuk Shalahuddin sebagai pemimpin kala itu. Pada 4 Juli 1187, meletuslah Perang Hittin yang merupakan titik balik pasukan Muslim dalam penaklukan Baitul Maqdis. Di bawah pimpinan Shalahuddin al-Ayyubi, pasukan muslim meraih kemenangan yang gemilang dan menangkap Raynald dan Guy de Lusignan yang kala itu menjabat sebagai Raja Yerusalem.
Hanya berselang dua bulan kemudian, Shalahuddin al-Ayyubi dan pasukannya berhasil membebaskan Baitul Maqdis dari kekuasaan pasukan Salib. Berbanding terbalik dengan pasukan Salib yang menaklukkan Baitul Maqdis dengan kekejian, Shalahuddin membebaskan Baitul Maqdis dengan adab yang terpuji, tanpa menyakiti satu pun penduduk. Sejak saat itu, Masjid al-Aqsa dan Masjid Kubah Batu kembali ke fungsi semulanya, dan lantunan azan kembali berkumandang di tanah suci, setelah 88 tahun terjajah.
Al-Quds pada Masa Shalahuddin Al-Ayyubi
Shalahuddin adalah panglima perang termasyhur yang kecerdasannya dalam menyusun strategi perang tidak perlu diragukan lagi. Akan tetapi, ini tidak membuat Shalahuddin berambisi hanya untuk menaklukkan sebanyak-banyaknya wilayah tanpa bertanggung jawab atas wilayah tersebut. Setiap menaklukkan suatu wilayah, Shalahuddin selalu melakukan pengembangan dan pembaharuan dari berbagai aspek, tidak terkecuali ketika beliau membebaskan Baitul Maqdis dari tangan pasukan Salib.
Hal pertama dan terpenting yang Shalahuddin lakukan adalah meluruskan akidah dengan meruntuhkan tempat-tempat maksiat dan kemusyrikan di seluruh penjuru kota, serta menetapkan hukuman bagi siapa pun yang menyebarkan kesesatan. Shalahuddin juga melakukan pembaharuan dan pengembangan di sistem pendidikan, dengan mendirikan madrasah, universitas, dan mendatangkan ulama dan guru profesional dari berbagai bidang. Salah satu universitas di Baitul Maqdis yang dibangun oleh Shalahuddin adalah Universitas Al-Quds yang berdiri pada 1187 M (583 H).
Ketika itu Shalahuddin menetapkan peraturan yaitu anak-anak harus belajar tata cara salat berjamaah dan adab-adab berdoa sejak mereka masih kecil. Anak-anak menjelang usia remaja kemudian disediakan madrasah untuk mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an, menghafal hadits, menulis khat Arab, dan memperdalam ilmu agama. Ketika memasuki usia remaja, anak-anak diajarkan matematika, syair, esai, hukum, dan disertai dengan nasihat-nasihat. Kemudian saat anak-anak telah cukup besar untuk melanjutkan pendidikan, Shalahuddin mengizinkan mereka untuk menuntut ilmu di negeri-negeri yang jauh, baik itu di Syam, Mosul, Baghdad, bahkan di Kota Suci Makkah Al-Mukarramah.
Selain memperbaiki sistem pendidikan, Shalahuddin juga menerapkan pentingnya pendidikan akhlak dengan cara memberikan teladan kepada penduduknya. Sebagai pemimpin, keseharian beliau sangat sederhana, jauh berbanding terbalik dengan penguasa Eropa yang sebelumnya menjajah Baitul Maqdis dan hidup dalam kemewahan tetapi tidak peduli pada rakyatnya. Shalahuddin memiliki tujuan untuk menghapuskan budaya hedonisme tersebut, dan menegakkan kembali pola hidup terpuji yang sesuai dengan ajaran Islam.
Shalahuddin adalah pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyatnya. Beliau senantiasa mengambil kebijakan yang tidak memberatkan rakyatnya, salah satunya adalah menghapuskan pajak yang membebani rakyat. Shalahuddin juga menggunakan uang negara sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyatnya, seperti untuk membangun benteng pertahanan, pengadaan bahan pangan, dan membangun sistem irigasi yang baik. Tidak heran jika Baitul Maqdis menjadi kota yang sangat berkembang dalam berbagai aspek pada masa kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Al-Quds Masa Kini
Jika Shalahuddin dapat menyaksikan Al-Quds masa kini, mungkin air mata beliau akan berlinang menyaksikan kota yang dulu ia perjuangkan kini kembali tertindas oleh penjajahan. Mungkin beliau akan menatap penuh kesedihan tatkala menyaksikan rakyat yang ia cintai dan berusaha ia sejahterakan, kini hidupnya selalu menderita dan tidak pernah lepas dari kekhawatiran. Mungkin hati beliau akan terasa pedih menatap Masjid al-Aqsa yang dulu riuh oleh anak-anak yang menimba ilmu pengetahuan, kini dbuat gaduh oleh pemukim yang berseliweran.
Baitul Maqdis, Al-Quds, Kota Suci yang pernah menjadi kiblat kerukunan, sekarang menjadi target Yahudinisasi kaum ekstremis. Di Timur Masjid al-Aqsa, para pemukim Yahudi telah bersiap untuk meniup terompet dari tanduk domba jantan (Shofar) ketika Tahun baru Yahudi (Rosh Hashanah) yang jatuh pada 26–27 September 2022. Kebijakan tersebut juga mendapat dukungan dari Pengadilan Magistrat Israel di Al-Quds (Yerusalem) sejak tanggal 20 September 2022. Selain meniup terompet, pemukim juga berencana untuk melakukan ritual Talmud di dalam kompleks Masjid Al-Aqsa, terutama pada malam hari menjelang pergantian Tahun Baru Ibrani.
Yahudinisasi juga telah merambah sistem pendidikan di Al-Quds. Israel telah menyebarkan buku-buku pelajaran yang terdistorsi ke sekolah-sekolah Palestina di Al-Quds. Israel melakukan perubahan dan penghilangan banyak fakta di dalam buku-buku pelajaran, seperti teks Palestina, bendera, simbol nasional, dan istilah serta fakta sejarah lainnya. Israel kemudian menggantinya dengan subjek lain dengan tujuan untuk menolak hak siswa Palestina di Al-Quds untuk belajar tentang sejarah, budaya, dan asal usul kota mereka, Al-Quds, dan negara mereka, Palestina.
Kebijakan yang sewenang-wenang tersebut memicu protes dari sekolah-sekolah di Al-Quds Timur, Tepi Barat, Gaza, dan wilayah-wilayah Palestina lainnya. Selama Senin, 19 September 2022, sekolah-sekolah mengadakan mogok kerja selama sehari untuk melancarkan demonstrasi. Sejumlah siswa sekolah dan orang tua murid meneriakkan slogan-slogan seperti ‘tidak untuk kurikulum yang menyimpang’, ‘tidak untuk Israelisasi pendidikan’, dan ‘kami menolak kurikulum Kementerian Pendidikan Israel’, menuntut hak bagi anak-anak Palestina agar dapat belajar dengan kurikulum Palestina tanpa intervensi.
Sejak awal September 2022, Komite Perencanaan dan Pembangunan Pendudukan Israel di Al-Quds (Yerusalem) juga telah menyetujui dua rencana permukiman ilegal yang terdiri atas 3.412 unit rumah. Permukiman tersebut akan dibangun di atas lahan seluas 2.100 dunum di pinggiran timur ibu kota. Persetujuan Israel atas dua rencana tersebut akan mengancam sekitar 2.000 penduduk asli Palestina yang tinggal di komunitas Badui kecil di Al-Quds. Dua rencana permukiman tersebut juga akan memisahkan Tepi Barat utara dan selatan, yang akan memutuskan lingkungan Palestina di jantung Al-Quds dari lingkungan Palestina lainnya di timur dan selatan kota. Dengan kata lain, Al-Quds dan desa-desa kecil di sekitarnya akan terkepung oleh permukiman dan terisolasi dari wilayah-wilayah Palestina lainnya.
Sejak awal tahun hingga September 2022, Israel tercatat telah melakukan 3.940 kejahatan terhadap warga Palestina di Al-Quds. Bulan April mencatat pelanggaran terbesar, yaitu sebanyak 1.299 pelanggaran. Ini termasuk pembunuhan yang disengaja terhadap warga Palestina di Al-Quds, dan melukai 1.114 lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak. Selama periode 1 Januari hingga 3 Agustus 2022, sebanyak 34.117 pemukim kolonial Israel menyerbu Masjid Al-Aqsa, Israel juga telah mengeluarkan 89 perintah pelarangan terhadap orang-orang Palestina serta karyawan di Departemen Wakaf Al-Quds untuk memasuki area Masjid. Pasukan Israel juga telah menangkap 1.455 warga Palestina di Al-Quds, menghancurkan 71 rumah dan mengeluarkan perintah pembongkaran terhadap puluhan lainnya.
Al-Quds pada masa kini, sungguh berbanding terbalik dengan Al-Quds pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi, 835 tahun yang lalu. Kini, Al-Quds sedang menanti Shalahuddin baru, yang akan kembali membebaskan Al-Quds dari tangan penjajah Zionis. Layaknya Shalahuddin yang bagaikan mimpi dapat menaklukkan Baitul Maqdis dari ribuan pasukan Salib, impian untuk membebaskan Al-Quds dan seluruh tanah Palestina dari cengkeraman Yahudi bukanlah hal yang mustahil. Di atas segalanya, pantaskanlah diri kita untuk menjadi Shalahuddin baru, dengan meluruskan akidah, memperbaiki akhlak, memperbanyak ibadah, juga membekali diri dengan pendidikan dan pengetahuan, hingga pertolongan Allah kembali datang untuk membebasan Baitul Maqdis, Al-Quds, Tanah Suci Umat Islam.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
Hitti, Philip K. 2002. History of The Arabs. New York: Palgrave Macmillan.
Lestari, Eka Puji. 2020. Strategi Shalahuddin Al-Ayyubi dalam mengambil Alih Yerusalem. Surabaya: UIN Sunan Ampel.
https://www.republika.co.id/berita/p2njdv396/baitul-maqdis-indikator-kekompakan-umat-islam-part2
https://english.wafa.ps/Pages/Details/130717
https://english.wafa.ps/Pages/Details/130902
https://english.wafa.ps/Pages/Details/130909
https://english.wafa.ps/Pages/Details/130912
https://www.middleeastmonitor.com/20220915-israel-permits-raids-of-al-aqsa-during-jewish-holidays/
https://qudsnen.co/so-far-israel-committed-about-4000-crimes-in-occupied-jerusalem-in-2022/
https://safa.ps/post/335778/الاحتلال–ي–فرج–عن–مدير–المسجد–الأقصى–عمر–الكسواني
https://aljarmaq.net/post/15719/محكمة–إسرائيلية–تسمح–للمستوطنين–بالنفخ–في–البوق–بمقبرة–الأسباط–الإسلامية
http://www.womenfpal.com/news/2022/9/11/جماعات–الهيكل–تحشد–لاكبر–اقتحام–للاقصى–وتسعى–للنفخ–في–البوق
https://alqastal.info/post/21436/مؤسسة–حاخامية–تعتزم–نفخ–البوق–في–الأقصى
***
Tetaplah bersama Adara Relief International untuk anak dan perempuan Palestina.
Kunjungi situs resmi Adara Relief International untuk berita terbaru Palestina, artikel terkini, berita penyaluran, kegiatan Adara, dan pilihan program donasi.
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini seputar program bantuan untuk Palestina.
Donasi dengan mudah dan aman menggunakan QRIS. Scan QR Code di bawah ini dengan menggunakan aplikasi Gojek, OVO, Dana, Shopee, LinkAja atau QRIS.
Klik disini untuk cari tahu lebih lanjut tentang program donasi untuk anak-anak dan perempuan Palestina.