“Jangan pernah melupakan apa yang terjadi di Deir Yassin. Tulislah di atas batu. Ukirlah hal itu di dalam hatimu selamanya”
Fatima Asad, Penduduk Desa Deir Yassin
Tujuh puluh lima tahun yang lalu, sebanyak 150 penduduk Palestina terbunuh dan 750.000 lainnya terusir dari rumah mereka ketika terjadi peristiwa Nakba (Malapetaka). Zionis membantai desa-desa Palestina, memaksa penduduknya untuk mengungsi ke bagian lain Palestina atau ke negara-negara tetangga. Hingga hari ini, Nakba masih terus berlanjut, dan penduduk Palestina masih tetap mengingat desa-desa yang dulu terpaksa mereka tinggalkan karena ancaman Zionis. Salah satu desa tersebut adalah Deir Yassin, yang menjadi simbol penderitaan penduduk Palestina akibat kekejian Zionis Israel.
Pembantaian Berdarah
Deir Yassin adalah sebuah desa Palestina yang damai, terletak beberapa kilometer di sebelah barat Al-Quds (Yerusalem). Penduduk desa ini tidak terlalu banyak, hanya sekitar 700 orang, yang sebagian besarnya berprofesi sebagai pekerja tambang dan pemotong batu. Desa ini memang terkenal dengan usaha pemotongan batu kapurnya, yang membuat penduduknya bisa hidup sejahtera karena mencapai kecukupan tingkat kemakmuran ekonomi.
Tujuh puluh lima tahun yang lalu, penduduk desa Deir Yassin tidak pernah menyangka bahwa mereka akan menyaksikan pembantaian paling mengerikan di desa mereka. Pada tanggal 9 April 1948, beberapa waktu sebelum Zionis mendeklarasikan berdirinya negara Yahudi “Israel”, kelompok besar pasukan Zionis menyerbu desa Deir Yassin, merangsek masuk di bawah komando Menachem Begin dan Yitzhak Shamir, selaku kepala milisi teroris Irgun dan Stern Gang pada saat itu. David Ben-Gurion yang saat itu memimpin milisi Haganah, pelopor tentara Israel, juga menjadi dalang pembantaian yang memberikan dukungan dengan tembakan mortir dan membuang mayat.
Apa yang terjadi setelahnya adalah mimpi buruk yang penduduk Deir Yassin saksikan langsung di depan mata mereka. Sejak pagi, desa Deir Yassin seolah telah berada di ambang kematian. Pasukan Zionis memukuli, menikam, dan mengeksekusi penduduk desa tanpa ampun, tanpa pandang bulu. Menjelang sore, jalan-jalan yang tadinya bersih berubah menjadi genangan darah dan kuburan massal. Namun jerit kesakitan dan ratapan kehilangan tidak serta merta usai, setidaknya hingga beberapa hari setelahnya.
Dawud, salah seorang penyintas yang masih berusia 17 tahun pada saat pembantaian, menjelaskan kondisi Deir Yassin saat itu kepada Mondoweiss. Ia menegaskan bahwa pasukan Zionis meneror, merampok, memperkosa, menyiksa, dan meledakkan penduduk desa dengan granat tangan. Lebih mengerikan lagi, mereka bahkan membelah perut wanita hamil hidup-hidup, lantas mengeluarkan paksa janin dari dalamnya. Pasukan Zionis juga dengan sengaja membuat cacat, atau bahkan memenggal kepala anak-anak di hadapan orang tua mereka sendiri. Semua orang, dari janin yang belum lahir hingga lansia, semuanya menjadi sasaran pembantaian.
Sejarawan Israel Benny Morris menambahkan bahwa pasukan Zionis juga melakukan penggeledahan tanpa batas, selain mencuri uang dan perhiasan dari para penyintas dan membakar mayat. Pasukan Zionis mengangkut beberapa mayat ke tambang batu desa tempat mereka mengubur atau membakarnya. Tanpa rasa bersalah sedikit pun, mereka kemudian makan dengan lahap di samping mayat penduduk desa yang hangus. Morris mengatakan bahwa mutilasi dan pemerkosaan juga terjadi selama pembantaian tersebut.
Pembantaian yang terlampau keji tersebut membuat jumlah korban tidak bisa dipastikan dengan akurat karena kondisi jenazah yang terlalu mengenaskan. Menurut laporan tahun 1948 yang diajukan oleh delegasi Inggris ke PBB, mereka melaporkan pembunuhan “sekitar 250 orang Arab, pria, wanita dan anak-anak, dalam keadaan yang sangat biadab”. Diperkirakan hampir dua pertiga dari penduduk yang dibantai terdiri dari anak-anak, wanita, dan lansia di atas usia 60 tahun.
“Wanita dan anak-anak ditelanjangi, dibariskan, difoto, kemudian dibantai dengan tembakan otomatis. Orang-orang yang berhasil selamat telah menceritakan tentang kebiadaban yang lebih parah lagi,” kata laporan itu. “Orang-orang yang ditawan juga diperlakukan dengan kebrutalan yang merendahkan.” Mereka menambahkan bahwa penduduk desa yang ditawan kemudian diarak melalui Kota Tua Yerusalem oleh pasukan untuk mempublikasikan secara luas “kemenangan” Zionis di Deir Yassin.
Sumber lain mengatakan bahwa seorang perwakilan Palang Merah yang memasuki Deir Yassin pada 11 April 1948 melaporkan telah melihat sekitar 150 mayat ditumpuk sembarangan di sebuah gua, sementara sekitar 50 lainnya dikumpulkan di lokasi terpisah. Sementara itu, Mondoweiss berargumen bahwa korban tewas dari pembantaian tersebut berkisar antara 110 hingga 140 penduduk, namun komandan milisi Irgun sengaja membesar-besarkan jumlah korban menjadi 254 orang untuk meningkatkan teror dan memicu pengusiran massal warga Palestina dari desa-desa lainnya.
Benar saja, saat berita tentang kekejaman di desa Deir Yassin tersebar luas, ribuan warga Palestina segera meninggalkan desa mereka karena ketakutan. Bagaimana mungkin mereka tidak ketakutan tatkala mendengar berita pembantaian keji yang tidak pernah terbayangkan di benak mereka. Akhirnya, ribuan penduduk Palestina melarikan diri atau diusir secara paksa pada awal pembentukan “Israel”. Hingga detik ini, Zionis masih membantah bahwa pembantaian Deir Yassin sungguhan terjadi, dan tidak pernah ada pihak yang dituntut pertanggungjawaban mengenai tragedi berdarah yang merenggut nyawa ratusan penduduk Palestina tersebut.
Kaktus yang Penuh dengan Peluru
Penduduk Palestina hingga hari ini masih terus memperingati pembantaian Deir Yassin setiap tahunnya. Peringatan terhadap pembantaian Deir Yassin berfungsi sebagai pengingat bahwa Nakba masih terus berlangsung hingga detik ini. Deir Yassin menjadi simbol penghapusan desa Palestina dengan cara yang biadab, perampasan tanah dengan tindakan tak bermoral, serta pengusiran paksa penduduk Palestina melalui ancaman mengerikan.
Usaha Israel untuk menghancurkan ingatan akan desa-desa Palestina merupakan bagian dari proses genosida yang gagal. Sebab, tidak mungkin bagi penduduk Palestina untuk melupakan sesuatu yang tidak bisa dilupakan atau sesuatu yang sebenarnya masih belum berakhir. Nakba tidak dimulai pun tidak berakhir hanya di tahun 1948, melainkan merupakan bencana yang terus berkelanjutan, trauma yang tak berkesudahan.
Baca selengkapnya tentang Nakba di sini
Tujuh puluh lima tahun yang lalu, kobaran api mungkin telah dipadamkan dan genangan darah telah dibersihkan dari desa Deir Yassin. Akan tetapi, tragedi tersebut tetap meninggalkan aroma hangus dan noda merah yang tidak akan dapat dihilangkan oleh pembersihan atau penyangkalan sebanyak apa pun itu.
Akan tetapi luka-luka menganga tersebut tidak lantas membuat penduduk Deir Yassin menjadi putus asa untuk mempertahankan ingatan dan perjuangan di desa-desa mereka. Penduduk Deir Yassin menyadari bahwa merupakan tanggung jawab mereka untuk melindungi dan melestarikan warisan desa mereka, juga memasang badan untuk menggagalkan upaya Zionis untuk menghapus desa-desa dan seluruh kenangan mereka.
Seperti tanaman kaktus yang tertusuk banyak peluru, penduduk Deir Yassin menanggung bekas luka yang tak kunjung hilang akibat pembantaian keji puluhan tahun lalu. Akan tetapi, bunga-bunga cantik nan kuat akan mekar dari pembantaian dan kehancuran, lantas mengacungkan duri tajam yang diarahkan ke pihak penjajah untuk melindungi diri. Seperti penduduk Deir Yassin tujuh puluh lima tahun lalu, yang bertahan habis-habisan melindungi desa mereka hingga tetes darah terakhir.
Mayoritas berprofesi sebagai pemotong batu kapur, penduduk desa Deir Yassin sangat paham akan sifat batu kapur yang bisa dengan mudah terkikis lantas kemudian lenyap. Atas kesadaran tersebut, mereka akan melakukan apa saja untuk mencegah ingatan akan desa mereka mengapur, lantas terhapus dan terlupakan begitu saja. Kisah-kisah perlawanan diwariskan dari generasi ke generasi, demi mempertahankan semangat perlawanan dan untuk terus mengingat dari mana mereka berasal.
Para penduduk Deir Yassin, juga penduduk Palestina pada umumnya, akan terus mengingat nama para korban dan menceritakan kisah mereka dengan bangga. Mereka akan menyuarakan semangat para pejuang yang menggaungkan perlawanan demi mendapatkan hak hidup dan kehormatan bagi mereka dan anak cucu mereka. Mereka mengubah trauma menjadi ketangguhan, mereka menolak lupa, maka mereka mengukir sejarah dalam-dalam di ingatan, dan mereka menolak diam, hingga dengan lantang mengobarkan fakta ke seluruh belahan dunia. Penduduk Palestina bertahun-tahun telah berjuang, tak peduli akan rasa sakit dan pedih yang tak kunjung hilang. Maka, apakah kita tidak malu jika hanya diam saja menyaksikan tanpa mengambil sedikit pun tindakan?
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
https://english.wafa.ps/Pages/Details/135290
https://www.aljazeera.com/news/2023/4/9/the-deir-yassin-massacre-why-it-still-matters-75-years-later
https://www.jewishvirtuallibrary.org/the-capture-of-deir-yassin
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini