Percepatan teknologi yang terjadi pada zaman ini memiliki sejumlah efek negatif yang menjadi penyakit sosial di masyarakat kita. Salah satu implikasi negatif yang memprihatinkan adalah perilaku penyimpangan sosial. Ironinya, beberapa kasus yang belakangan terjadi di sekitar kita, seperti pornografi, perzinahan, pelecehan seksual, pornoaksi, hingga pemerkosaan banyak melibatkan anak sebagai korban.
Pada kasus konten pornografi misalnya, anak dengan mudah mendapatkan konten tersebut melalui games, film, komik, sinetron hingga tayangan animasi. Bahkan fenomena dari kecanduan gadget pada anak-anak bahkan dewasa memang menjadi permasalahan yang mencuat akhir-akhir ini karena menyebabkan kecanduan terhadap konten pornografi.
Dengan adanya fenomena tersebut, orang tua memiliki penting untuk meningkatkan pengawasan terhadap anak. Kita sebagai orang tua tidak boleh reaktif dengan menyalahkan pihak pihak-pihak lain seperti sekolah, guru atau asisten rumah tangga, tetapi justru orang tualah yang harus berperan penting dalam masalah seperti ini. Orang tua memiliki peran paling utama dalam pendidikan anak, sekaligus dan bertanggung jawab penuh terhadap pola asuh anak. Sebab kunci keberhasilan pendidikan anak sangat tergantung dari peran dan perhatian orangtua.
Oleh sebab itu, Rasulullah Saw. membebankan tanggung jawab pendidikan anak itu sepenuhnya di pundak kedua orangtua karena anak adalah amanah yang Allah Swt. berikan kepada orangtuanya. Rasulullah Saw. bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang orang yang dipimpinnya. Kepala negara adalah pemimpin bagi manusia, dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Wanita adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya, dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang budak adalah pemimpin terhadap harta tuannya, dan dia akan diminta pertanggungjawaban tentang harta yang diurusnya. Ingatlah, masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan Rasulullah Saw. mengatakan bahwa seorang anak akan tumbuh dewasa sesuai dengan agama atau pola asuh orangtuanya. Kedua orangtua sangat berpengaruh besar terhadap anak-anak mereka.
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
“Tidaklah setiap anak kecuali dia dilahirkan di atas fitrah, maka bapak ibunyalah yang menjadikan dia Yahudi, atau menjadikan dia Nasrani, atau menjadikan dia Majusi. Sebagaimana halnya hewan ternak yang dilahirkan, ia dilahirkan dalam keadaan sehat. Apakah Engkau lihat hewan itu terputus telinganya?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Iman menjadi pondasi yang sangat penting untuk menjaga anak dari bahaya pornografi dan penyimpangan seksual lainnya. Menjadi sangat penting bagi orangtua untuk mendidik anak dengan nilai-nilai keislaman. Salah satunya adalah tentang adab. Rasulullah Saw. adalah teladan bagi seluruh ummat dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam mencontohkan pola asuh yang terbaik buat anak-anak. Allah Swt. menyanjung beliau sebagai orang yang memiliki akhlaq agung, sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Al Ahzab ayat 21;
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Anak-anak yang hidup di zaman sekarang sangat perlu proteksi iman yang kuat. Godaan syahwat yang semakin memuncak adalah dampak dari tingginya arus perkembangan zaman dan rendahnya pantauan orang tua. Sosok ayah memiliki peran penting bagi keluarga. Karenanya, bagi seorang anak perempuan, Ayah adalah cinta pertama yang tidak akan tergantikan kehadirannya. Bagi seorang anak laki-laki, Ayah adalah teladan dalam tanggung jawab serta kepemimpinan. Ketika cinta seorang Ayah tergantikan, maka besar kemungkinan pertahanan mereka akan runtuh, maka jangan biarkan anak kita jatuh ke pelukan cinta yang lain.
Terhadap dorongan biologis yang ada dalam diri anak sesuai dengan fitrah mereka, maka Islam memberikan perlindungan kepada anak-anak dengan menuntun dengan perintah dan larangan agar terhindar dari gejolak eksternal yang mengarah pada penyimpangan moral dan dorongan seksual anak terpelihara dengan seimbang dan suci.
Berikut adalah beberapa hal yang wajib orangtua ajarkan kepada anak-anak mereka;
1.Orang tua harus mengajarkan anak-anak meminta izin untuk masuk ke satu ruangan
Khususnya kamar orangtua pada tiga waktu berikut, yaitu menjelang shubuh, menjelang zuhur (saat qailulah/istirahat siang), dan setelah isya. Allah Swt. berfirman dalam Surat An Nur ayat 58,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِيَسْتَـْٔذِنكُمُ ٱلَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ وَٱلَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا۟ ٱلْحُلُمَ مِنكُمْ ثَلَٰثَ مَرَّٰتٍ ۚ مِّن قَبْلِ صَلَوٰةِ ٱلْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُم مِّنَ ٱلظَّهِيرَةِ وَمِنۢ بَعْدِ صَلَوٰةِ ٱلْعِشَآءِ ۚ ثَلَٰثُ عَوْرَٰتٍ لَّكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌۢ بَعْدَهُنَّ ۚ طَوَّٰفُونَ عَلَيْكُم بَعْضُكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلْءَايَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya’. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Pada tiga waktu tersebut adalah waktu-waktu yang biasanya aurat orang tua dalam keadaan terbuka. Selain pentingnya orang tua memastikan kondisi kamar dalam keadaan tertutup, orang tua juga harus selalu menutup auratnya di hadapan anak-anak, di setiap waktu, untuk mencegah anak terjangkiti penyakit jiwa karena nafsu syahwat atau dorongan biologis lainnya.
2. Membiasakan anak agar memiliki rasa malu, menundukkan pandangan, dan menutup aurat
Sebelum kita mengajarkan anak-anak menutup aurat, ajarkan dulu mereka tentang rasa malu. Nilai utama dari seorang perempuan dan laki-laki adalah rasa malunya. Kekuatan yang akan menjaga mereka dari gempuran zaman. Walaupun di sekolah diberlakukan pemisahan antara siswa dan siswi, tetap saja sebagai orang tua tidak bisa hanya menyalahkan pihak sekolah apabila terjadi penyimpangan jiwa, moral, dan sosial, tapi orang tualah yang harus berperan penting dalam masalah seperti ini.
Mata adalah jendela anak untuk melihat dunia di sekitarnya. Apa yang dilihat oleh mata, maka akan meresap ke dalam akal dan jiwa anak. Oleh sebab itu, membiasakan anak menundukkan pandangan dari aurat orang lain, kapan pun dan dimana pun merupakan suatu kewajiban sehingga tidak terjangkit penyakit penyimpangan seksual dan lepas kontrol.
Orang tua juga memiliki kewajiban untuk mengajarkan anak tentang kewajiban menutup aurat ketika anak-anak sudah mulai mengerti mana yang baik dan yang buruk (mumayiz). Saat orang tua sudah mulai mengajarkan salat, maka ajarkan juga anak-anak tentang pentingnya menjaga aurat mereka. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat An Nur ayat 30 untuk laki-laki dan ayat 31 untuk perempuan;
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
3 Orangtua harus memisahkan tempat tidur anak
Bukan hanya salat saja yang diajarkan sejak kecil, hendaklah pula anak diajarkan untuk menjauhi perkara haram seperti zina dengan melakukan tindakan preventif yaitu memisahkan tempat tidur anak yang berjenis kelamin berbeda, agar tidak membangkitkan gairah seksual mereka. Rasulullah Saw. bersabda,
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun. Pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud)
4. Orangtua harus mengajarkan anak-anak agar menghindari ikhtilat
Dr. Adit Hokker dalam bukunya Al-Qawaanin Al-Jinsiah (Undang-Undang Seksual) menuliskan: “Bukankah hal yang aneh dalam ‘masyarakat yang dianggap modern’, jika anak perempuan yang berusia tujuh atau delapan tahun telah melakukan hubungan intim dengan lawan jenisnya, dan tidak mustahil akan menimbulkan polusi moral yang berdampak pada perzinaan. Di Eropa, ada seorang gadis yang berusia tujuh tahun, dari keluarga terhormat, telah melakukan zina dengan saudaranya sendiri dan beberapa temannya. Dan, lima anak, yang terdiri dari dua perempuan dan tiga laki-laki, yang tinggal berdekatan telah menjalin hubungan asmara di antara mereka. Bahkan, mereka mengajak dan mendorong anak-anak yang lain untuk melakukan perbuatan yang sama. Di antara mereka, anak laki-laki yang paling besar berusia sepuluh tahun dan anak perempuan berusia sembilan tahun. Mereka sangat bahagia menjadi kekasih atau pacar bagi beberapa temannya. Padahal seharusnya, mereka berada dalam pengawasan yang ketat.”[1]
Sungguh fenomena tersebut menjadi introspeksi orang tua. Rasulullah Saw. menjelaskan tentang haramnya ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan) dalam hadits-hadits berikut ini;
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
« إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ » . فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ . قَالَ « الْحَمْوُ الْمَوْتُ »
“Janganlah kalian masuk ke dalam tempat kaum wanita.” Lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?” beliau menjawab: “Ipar adalah maut.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ » . فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ امْرَأَتِى خَرَجَتْ حَاجَّةً وَاكْتُتِبْتُ فِى غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا . قَالَ « ارْجِعْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ »
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya.” Lalu seorang laki-laki bangkit seraya berkata, “Wahai Rasulullah, isteriku berangkat hendak menunaikan haji sementara aku diwajibkan untuk mengikuti perang ini dan ini.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, kembali dan tunaikanlah haji bersama isterimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari ‘Umar bin Al Khottob, ia berkhutbah di hadapan manusia di Jabiyah (suatu perkampungan di Damaskus), lalu ia membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
“Janganlah salah seorang diantara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barangsiapa yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin.”
(HR. Ahmad 1/18. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqoh sesuai syarat Bukhari-Muslim)
5. Orangtua menjelaskan kepada anak tentang tanda-tanda baligh, tata cara mandi wajib dan sunnah-sunnahnya
Penting bagi setiap orang tua menjelaskan adanya tanda-tanda anak memasuki usia baligh. Setidaknya anak-anak tahu apabila tanda itu ada, maka dikatakan baligh. Bagi anak laki-laki yaitu Ihtilam, keluar mani ketika bangun tidur. Bagi anak perempuan yaitu haid, darah normal yang keluar dari rahim wanita pada waktu tertentu. Orang tua juga menjelaskan hal apa saja yang diperintahkan serta yang dilarang oleh Allah Swt. Salah satu perintah yang harus dilakukan ketika sudah bersuci dari hadas besar adalah dengan melakukan mandi wajib agar mereka tidak mencari atau mengetahui dari sumber yang salah sehingga orang tua berperan penting dalam menerangkan kepada anak. Berikut dalil syariat terkait haid:
A. Al Qur’an
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
(Surat Al Baqarah ayat 222)
B. As Sunnah
وَعَنْ أَنَسٍ - رضى الله عنه - { أَنَّ اَلْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتْ اَلْمَرْأَةُ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا, فَقَالَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - “اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا اَلنِّكَاحَ” } رَوَاهُ مُسْلِم ٌ
Dari Anas RA bahwa orang Yahudi bila para wanita mereka sedang mendapat haid, mereka tidak memberikan makanan pada para wanita itu. Rasulullah Saw. bersabda, “Lakukan segala apa yang kau mau kecuali nikah (hubungan nikah).” (HR. Muslim)
Berikut dalil syariat ihtilam (mimpi basah), yaitu keluarnya mani dari kemaluan, baik dalam kondisi tidur atau dalam kondisi terjaga (tidak tidur).
A. Al Qur’an
وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
“Dan apabila anak-anakmu telah ihtilam, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.” (Surat An Nur ayat 59)
B. As Sunnah
Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الغُسْلُ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Mandi hari Jum’at itu wajib bagi setiap orang yang telah mengalami ihtilam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Diangkatlah pena (dosa) dari tiga golongan: (1) orang yang tidur hingga ia bangun; (2) anak kecil hingga dia ihtilam; (3) dan orang gila hingga dia berakal (sembuh).” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah)
6. Orangtua mengajarkan anak perempuan Surah An Nur dan anak laki-laki Surat Al Maidah
Menghafalnya dan menjelaskan kandungan suratnya terutama terkait masalah seks dan perzinaan.
سُورَةٌ أَنزَلْنَٰهَا وَفَرَضْنَٰهَا وَأَنزَلْنَا فِيهَآ ءَايَٰتٍۭ بَيِّنَٰتٍ لَّعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatnya.” (Surat An Nur ayat 1)
Penjelasan para mufassir:
Ibnu Katsir: Firman Allah, “Kami Turunkan, mengandung makna mengingatkan agar surat ini mendapat perhatian besar, namun bukan juga berarti surat yang lain tidak diperhatikan.”
Al Qurtubi: “Maksud surat ini menjelaskan tentang hukum menjaga kesucian penjagaan diri. Umar pernah mengirimkan pesan kepada penduduk Kufah: “Ajarilah para wanita kalian surat An-[2]Nuur.” Aisyah mengatakan: “Janganlah kalian kurung wanita kalian di kamar-kamar, tanpa diajari menulis, ajarilah mereka Surat An-Nuur dan menenun.”[3]
Imam Muhajid meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda,
علِّموا رجالَكم سورةَ المائدةِ، وعلِّموا نساءَكمُ سورةَ النُّورِ[4]
“Ajarkan anak laki-laki kalian surat Al Maidah dan ajarkan pula anak-anak perempuan kalian Surat Annur”
7. Membiasakan anak tidur dengan posisi miring ke kanan
Rasulullah Saw. menyunnahkan agar kita tidur dengan posisi miring di atas lambung kanan. Posisi yang demikian akan mencegah timbulnya nafsu syahwatnya bagi si anak. Sementara itu, beliau pun telah menjelaskan tentang cara tidur setan, yaitu tidur dengan posisi tengkurap, yang dapat mempengaruhi nafsu syahwat.
Oleh karena itu, apabila orangtua melihat dan menemukan anaknya tidur dalam posisi tengkurap, maka hendaklah ia mengubah posisinya dan mengarahkan anak agar mencontoh cara Rasulullah Saw. tidur.[5] Sesungguhnya, posisi tidur tengkurap dapat menimbulkan banyak penyakit. Dokter-dokter pun menegaskan kepada pasiennya supaya tidak tidur dengan posisi tengkurap.[6]
Dengan demikian, orang tua adalah penanggung jawab pertama dalam mendidik anak. Sinergi di antara kedua orangtua, ayah dan ibu memiliki peran dalam membentuk perilaku anak.
Islam menekankan pendidikan anak berdasarkan adab-adab yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah, bukan hanya dari segi materi dan fasilitas. Sehingga dimana pun anak berada, mereka sadar bahwa Allah Swt. selalu mengawasi mereka dengan fondasi pendidikan yang berlandaskan keimanan kepada Allah Swt. dan RasulNya.
Wallahua’alam
Penulis: Fatmah Ayudhia Amani, S. Ag.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan Diploma in Islamic Early Childhood Education, International Islamic College Malaysia dan S1 Tafsir dan Ulumul Qur’an, STIU Dirosat Islamiyah Al Hikmah, Jakarta.
- Ir. Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid. 2004. Cara Nabi Mendidik Anak. Jakarta: Al-I’tishom. Hal. 206. ↑
- Abdul Aziz Abdur Rauf, LC, Al-Hafidz. Tahfiz & Tafsir Surat An-Nuur – Cahaya Rumah Tangga Orang Beriman. Markaz Al-Quran. Hal. 29. ↑
- Abdul Aziz Abdur Rauf, LC, Al-Hafidz. Tahfiz & Tafsir Surat An-Nuur – Cahaya Rumah Tangga Orang Beriman. Markaz Al-Quran. Hal. 30. ↑
- الراوي : مجاهد بن جبر المكي | المحدث : السيوطي | المصدر : الجامع الصغير ↑
- Ir. Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid. 2004. Cara Nabi Mendidik Anak. Jakarta: Al-I’tishom. Hal. 404. ↑
- Ir. Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid. 2004. Cara Nabi Mendidik Anak. Jakarta: Al-I’tishom. Hal. 405. ↑
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini