Hari-hari bersejarah yang penting biasanya diperingati dengan perayaan yang penuh sukacita dan kemeriahan. Akan tetapi, setiap tahunnya, warga Palestina memperingati dua tanggal yang penuh dengan luka dan duka. Dua tanggal tersebut selalu membuka kembali ingatan menyakitkan tentang kehilangan tempat tinggal, orang-orang tercinta, dan harapan akan masa depan. Dua tanggal tersebut diperingati setiap 15 Mei yang dikenal sebagai Hari Nakba, malapetaka tahun 1948, dan 6 Juni yang merupakan peringatan Hari Naksa, malapetaka tahun 1967.
Naksa yang secara harfiah berarti ‘kemunduran’ merupakan peristiwa yang mengacu pada Nakba kedua–pengusiran warga Palestina dari Tepi Barat, Al-Quds (Yerusalem) bagian timur, dan Gaza selama perang tahun 1967. Tragedi ini juga menandai dimulainya penjajahan militer ilegal Israel di wilayah-wilayah tersebut. Bagi sebagian besar warga Palestina, Naksa adalah episode bersambung dari bencana berkelanjutan yang ditandai dengan serangan militer setiap hari, penghancuran rumah, penyitaan tanah, perluasan permukiman Yahudi, dan pengusiran paksa warga Palestina dari tanah airnya sendiri.
Benang Merah dari Nakba 1948 Hingga Naksa 1967

Setelah terjadinya Nakba pada 1948, sekitar 150.000 warga Palestina tetap tinggal di wilayah yang direbut paksa oleh Israel, sementara ratusan ribu lainnya terpaksa melarikan diri ke Lebanon, Suriah, Yordania, dan wilayah Palestina yang masih berada di bawah kendali negara Arab.
Misalnya saja, sebelum tahun 1948, Gaza memiliki populasi sekitar 80.000 penduduk, namun populasinya meningkat hampir tiga kali lipat dengan masuknya lebih dari 200.000 pengungsi yang sebagian besar berasal dari Distrik Jaffa dan Beersheba yang terdampak Nakba secara langsung. Warga Palestina dari Haifa dan wilayah Galilea melarikan diri ke utara menuju Suriah dan Lebanon. Warga yang berasal dari wilayah pesisir, termasuk beberapa wilayah di Jaffa dan Haifa serta Distrik Ramleh dan Al-Quds (Yerusalem) melarikan diri ke tempat yang sekarang dikenal sebagai Tepi Barat atau menyeberangi Sungai Yordan ke tepi timur Yordania.
Pada 1950, Tepi Barat secara resmi dianeksasi ke Yordania dan dikelola oleh Yordania hingga tahun 1967. Sementara itu, tentara Mesir berada di Gaza dan mempertahankan kendali administratif di Jalur Gaza sejak 1949 hingga 1967, kecuali untuk periode singkat pada 1956.
Pada 1951, UNRWA mencatat sebaran pengungsi Palestina yang terdaftar di beberapa wilayah, yakni Gaza (199.789 pengungsi), Lebanon (106.753 pengungsi), Suriah (80.499 pengungsi), dan Yordania–termasuk Tepi Barat (465.450 pengungsi). Segera setelah Nakba 1948 di Palestina, Israel membentuk pemerintahan militer di wilayah “negara Yahudi baru” di area yang merupakan tanah tempat warga Palestina tinggal dengan tujuan untuk mencegah kembalinya pengungsi Palestina ke rumah-rumah mereka.
Sejak akhir Nakba 1948 hingga krisis Suez 1956, pasukan Israel dilaporkan telah membunuh sekitar 5.000 pengungsi Palestina yang berusaha kembali ke rumah mereka di “Israel”. Pada 1957, Israel menyetujui sekitar 8.000 permohonan reunifikasi warga Palestina dengan kerabat mereka di “Israel”. Namun, puluhan ribu permohonan harus ditolak karena menurut Israel diajukan tanpa bukti domisili yang sah. Dalam kebanyakan kasus, dokumen tersebut hilang atau hancur selama pembantaian tahun 1948;
Pemerintahan militer Israel berkuasa sejak 1948 hingga 1966. Ketika itu kota-kota dan desa-desa Yahudi didirikan di atas tanah yang diambil alih dari warga Palestina. Pada kisaran waktu tersebut, permukiman Yahudi di wilayah jajahan meningkat lebih dari dua kali lipat. Meskipun tidak ada kota atau desa baru yang didirikan, hunian yang berada di kota dan desa Palestina, dijadikan sebagai tempat tinggal bagi ratusan ribu orang Yahudi yang bermigrasi dari seluruh dunia. Seperti yang bisa ditebak, rumah-rumah tersebut merupakan properti penduduk Palestina yang direbut paksa setelah Israel mengusir atau membunuh seluruh penghuninya.
Gencatan senjata antara pasukan Israel dan Arab pada 1949 sama sekali tidak mengakhiri siklus pengungsian dan perampasan rumah warga Palestina. Pengungsi Palestina yang menjadi warga negara baru tidak diizinkan kembali ke desa mereka dan bertani di tanah mereka. Israel juga mengusir warga Palestina yang tinggal di wilayah perbatasan. Penduduk Palestina di desa yang tersisa–sebagian besar sudah tidak berpenghuni akibat perang–juga diusir. Pada pertengahan tahun 1950-an, tercatat sekitar 15 persen dari total penduduk Palestina di wilayah jajahan Israel telah diusir.
Sejumlah undang-undang pertanahan kemudian disusun untuk memungkinkan Israel memperkuat kendali atas sebagian besar tanah di wilayah tersebut. Pada awal tahun 1960-an, Israel telah mengambil alih separuh tanah milik warga Palestina yang masih berada di wilayah yang telah menjadi jajahan Israel. Tanah yang diklasifikasikan sebagai ‘Tanah Israel’ berdasarkan Undang-Undang Dasar tahun 1960 tersebut tidak dapat dialihkan baik melalui penjualan atau cara apa pun.
Pada 1967, sebanyak 2,4 juta orang Yahudi mempunyai akses terhadap tanah seluas 18.000 km persegi, sementara 390.000 warga Palestina yang tersisa hanya mempunyai akses terhadap tanah seluas 700 km persegi, terlepas dari fakta bahwa tanah tersebut merupakan hak yang diwariskan dari nenek moyang mereka.

Pada 1967, peristiwa Naksa terjadi. Seakan belum puas dengan Nakba 1948, Zionis kembali melancarkan serangan hingga mereka mengambil alih wilayah-wilayah Palestina yang tidak dapat mereka rebut pada tahun 1948.
Naksa merupakan tragedi pengusiran besar-besaran yang terjadi pada 5 Juni 1967, ketika Zionis melancarkan serangan terhadap Mesir, Yordania, Irak, dan Suriah. Setelah merobohkan pertahanan udara negara-negara tersebut, Zionis mengambil alih Al-Quds (Yerusalem) bagian timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza, serta Dataran Tinggi Golan Suriah dan Semenanjung Sinai Mesir. Dengan adanya wilayah negara Arab lain yang juga dicaplok Israel, dapat dikatakan bahwa Naksa bukan hanya tragedi yang melibatkan Palestina, tetapi juga seluruh negara Arab.
Meskipun demikian, sebagai negara yang secara langsung terjajah oleh Zionis Israel, Palestina menerima dampak paling buruk dari peristiwa Naksa. Sebanyak 300.000 penduduk Palestina yang berada di wilayah-wilayah Palestina yang tersisa akibat Nakba, kembali terusir dari tempat tinggal mereka. Diambil alihnya kota suci Al-Quds (Yerusalem) dan Masjid Al-Aqsa, semakin memperburuk kondisi Palestina.
Baca juga “Nakba, Malapetaka yang Terus Berlangsung”
Naksa 2024, Janji Zona Aman yang Hanya Ada di Angan-angan

“Semua tenda dibanjiri air limbah. Ini bukan kehidupan,” kata Abdullah Barbakh, ketika ia berbicara ke TRT World dengan latar bangunan-bangunan yang telah hancur dibom oleh Israel selama berbulan-bulan. “Saya mohon kepada seluruh negara Arab dan seluruh dunia untuk melihat apa yang terjadi pada kami. Kami hidup di tengah limbah.”
Kata-kata Barbakh bukan kiasan, melainkan kenyataan yang terjadi di pengungsian. Pengungsi Palestina di Gaza harus menggunakan botol plastik kosong untuk membuang limbah dari tenda mereka setelah pecahnya pipa aliran limbah di kota Khan Younis di selatan Gaza. Warga memindahkan karpet yang basah kuyup dari tenda mereka, sementara anak-anak mengarungi sungai limbah yang membelah jalan utama. Tumpukan puing serta lempengan beton besar dari bangunan yang terkena bom dan berhamburan di jalanan, menambah kemustahilan bagi penduduk Gaza untuk menghuni kota itu.
Khan Younis merupakan fokus serangan pasukan Israel pada bulan-bulan awal agresi Israel di Gaza. Namun, kini kota tersebut telah berubah menjadi pusat pengungsian. Banyak di antara warga yang terpaksa mengungsi berkali-kali selama agresi, meski sebenarnya sama sekali tidak ada lokasi yang aman di Gaza. Menurut Badan Pengungsi Palestina PBB (UNRWA), terdapat sekitar 1,7 juta orang yang kini berlindung di Khan Younis dan wilayah lain di Gaza bagian tengah.
Mohammad Ahmad Abdul Majid, yang sekarang tinggal di Khan Younis setelah meninggalkan Kota Gaza, mengatakan kepada AFP bahwa kondisi kehidupan begitu buruk sehingga dia tidak bisa tidur. “Kami hidup di tenda dalam kondisi yang sulit dan tidur di kasur yang tidak layak untuk manusia,” katanya. “Sebelum agresi, kami tinggal di rumah yang nyaman dan lingkungan yang sehat. Saat ini situasinya telah berubah.”

Puluhan ribu orang mencari perlindungan di Khan Younis setelah melarikan diri dari Rafah di Gaza selatan. Ini terjadi terutama setelah Rafah dibombardir habis-habisan dengan bom seberat 1.000 kilogram sejak pekan lalu, hingga menewaskan lebih dari 45 warga Palestina dan melukai 200 lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak. Sungguh kenyataan yang menyakitkan, mengingat Rafah merupakan wilayah terakhir yang dijanjikan sebagai “zona aman” bagi penduduk Gaza.
“Dia (ayahku) dibakar hidup-hidup. Dia mengucapkan syahadat, kami berusaha menyelamatkannya, tetapi kami tidak bisa menariknya (dari puing-puing),” kata Nafez Hammad, pemuda yang selamat dari pembantaian di Rafah, kepada TRT. “Aku berlari ke sini setelah serangan terjadi. Ayah terbaring di sini, sementara sekelilingnya terbakar. Ia melihatku, namun wajahnya kemudian membelakangiku. Adik laki-lakiku yang berdiri di sampingku mengatakan, ‘ayahku terbakar, biarkan aku terbakar bersamanya.”
“Ketika pasukan Israel mengumumkan Rafah sebagai zona aman, orang-orang yang mencari tempat untuk mengungsi berdatangan dari berbagai wilayah,” Nafez melanjutkan. “Kami telah mengatakan ini sebelumnya dan akan terus mengulanginya, bahwa kami akan tetap tinggal di tanah ini. Kami hanya akan meninggalkannya saat tubuh kami telah menjadi mayat.”
Baca juga “Pengungsi Palestina dalam Sorotan”
Palestina, Rumah yang Ditinggalkan dan Tidak Lagi Dikenali

Mohammed al-Najjar, seorang warga Palestina berusia 33 tahun, mengatakan bahwa ia “terkejut” dan merasa “tersesat” ketika kembali ke rumahnya, ketika ia menemukan sebagian besar Kamp Pengungsi Jabalia telah hancur akibat serangan Israel. “Semua rumah telah menjadi puing,” kata Najjar ketika diwawancarai di Jabalia, Gaza utara. “Aku merasa tersesat, tidak tahu di mana tepatnya rumah kami berada di tengah kehancuran besar-besaran ini.”
Pasukan Israel melancarkan kampanye pengeboman besar-besaran di Jabalia dalam beberapa pekan terakhir, segera setelah dilakukannya pembantaian Rafah yang disebut sebagai “zona aman”. Ini merupakan bagian dari serangan darat besar-besaran di Gaza utara – sebuah wilayah yang sebelumnya dikatakan militer berada di luar kendali pejuang Palestina. “Saya terkejut dengan besarnya kerusakan akibat agresi terbaru di Jabalia,” kata Najjar. Ia menggambarkan perabotan yang hangus, serta tempat tidur dan pintu besi yang hancur berserakan hampir di setiap jalan di kamp.
Laki-laki, perempuan, dan anak-anak melintasi jalan dalam situasi yang sangat apokaliptik. Jalan tempat rumah mereka dulu berdiri, kini penuh dengan puing-puing beton dan debu berwarna abu-abu. Kota ini merupakan sebuah kawasan yang dulunya ramai dengan aktivitas dan menjadi rumah bagi lebih dari 100.000 orang, menurut angka PBB sebelum agresi. Kini, bahkan tidak ada tempat untuk menyimpan barang-barang mereka. Banyak keluarga membawa barang-barang mereka dengan kereta keledai, sementara yang lain berjalan dengan tempat tidur dan kasur di atas kepala.
“Kami tidak punya tempat lain selain rumah kami,” kata Suad Abu Salah, 47, yang kembali lagi setelah sempat meninggalkan daerah tersebut akibat agresi Israel yang kini mendekati bulan kedelapan. “Namun, Jabalia kini telah terhapus dari peta,” katanya. Abu Salah mengatakan banyak warga yang lelah menjadi pengungsi dan mereka hanya ingin tetap tinggal, apa pun yang terjadi. “Kami ingin hidup seperti orang lain di dunia,” katanya. “Kami membutuhkan solusi dan diakhirinya agresi ini, sehingga kita dapat merasakan kedamaian.” “Tentu saja kami akan tetap tinggal di tanah kami.”
Jika diperhatikan, baik Nafez Hammad maupun Abu Salah, keduanya memberikan pernyataan yang serupa, bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan tanah air mereka, Palestina. Tidak mudah mengatakan kalimat tersebut setelah melewati serangkaian tragedi yang membuat mereka berada di antara kondisi hidup dan mati.
Pembantaian tepung, ledakan di lokasi pembagian bantuan makanan, dan yang terbaru pembantaian di ‘zona aman’ Rafah, seharusnya sudah lebih dari cukup menjadi alasan bagi mereka untuk pergi dari Gaza, mengingat kengerian situasi yang harus mereka saksikan setiap hari: potongan tubuh yang berserakan di jalanan serta erangan kesakitan korban terluka yang hanya bisa pasrah dengan keadaan. Namun tidak, mereka memilih untuk tinggal, bahkan jika mereka hanya tersisa sendirian.
Sendirian. Satu kata itu mungkin bisa menggambarkan apa yang terjadi di Palestina, khususnya di Jalur Gaza saat ini. Jika Abu Salah tidak bisa mengenali rumahnya karena telah hancur menjadi puing-puing, maka dunia sepertinya juga tidak lagi bisa mengenali Gaza yang dulunya adalah kota pesisir yang cantik, namun kini telah menjelma menjadi lokasi paling horor di dunia. Bau debu yang menyesakkan, merah darah yang menggenang, ditambah jerit tangis kesakitan dari bawah puing-puing bangunan, seluruhnya telah berkumpul di Gaza, mengingatkan kembali akan peristiwa Naksa 1967, namun jauh lebih buruk.
Naksa, bencana pada 5 Juni 1967, merupakan perang besar-besaran yang melibatkan sejumlah negara Arab seperti Mesir, Yordania, Irak dan Suriah. Akan tetapi, seolah lupa dengan perlawanan 57 tahun yang lalu, kini negara-negara Arab justru meninggalkan Palestina sendirian. Mesir bahkan memutuskan untuk menutup perbatasan, membiarkan penduduk Palestina sekarat oleh bencana kelaparan dan pembantaian besar-besaran.
Lima Puluh Tujuh tahun telah berlalu setelah Naksa, namun hingga detik ini penduduk Palestina belum ada yang sepenuhnya terbebas dari penjajahan. Penghancuran rumah, perluasan permukiman, penahanan administratif, pemisahan keluarga, serta pembantaian besar-besaran telah menyebabkan warga Palestina semakin banyak yang menyandang status pengungsi yang harus hidup berpindah-pindah tanpa tempat tinggal yang tetap. Jika ini terus berkelanjutan, dapat disimpulkan bahwa Naksa tahun ini bukanlah ‘kemunduran’ Palestina, melainkan ‘kemunduran’ masyarakat dunia dalam menegakkan hak asasi manusia bagi seluruh penduduk Palestina.
Baca juga “Dari Pengungsian ke Pengungsian, Penduduk Gaza Bertahan dalam Pelarian yang Tak Berujung”
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
From the 1948 Nakba to the 1967 Naksa. BADIL Occasional Bulletin No.18.
https://www.trtworld.com/middle-east/why-do-palestinians-observe-naksa-36999
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-67121372
https://edition.cnn.com/2023/11/01/middleeast/rafah-crossing-gaza-egypt-explainer-intl/index.html
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini