Sabra, demikian nama superhero yang ditampilkan oleh grup terkemuka Marvel pada September tahun lalu. Superhero perempuan yang digadang-gadang berasal dari Israel tersebut ditampilkan pada film Captain America: New World Order yang rilis tahun lalu. Sebelumnya, tokoh ini pernah muncul di halaman Marvel Comics pada 1980 dalam sekuel The Incredible Hulk.
Sabra dideskripsikan sebagai agen manusia super pertama yang melayani Mossad, Badan Keamanan Israel. Ia merupakan karakter superhero yang memiliki beberapa kekuatan manusia super seperti stamina, kelincahan, hingga kemampuan penyembuhan regeneratif. Sekilas tampak menarik, tetapi sesungguhnya kemunculan superhero ini sempat menuai kontroversi dan gelombang kritik. Mengapa?
Sabra adalah nama salah satu kamp pengungsian Palestina yang terletak di Lebanon selatan. Lantas apa kaitannya dengan tokoh Sabra yang dirancang oleh Marvel? Kamp pengungsian Sabra adalah saksi dari pembantaian brutal yang terjadi 41 tahun yang lalu. Mengalahkan film horor manapun, pembantaian kamp Sabra – bersamaan dengan kamp pengungsian Shatila – adalah kisah nyata yang membuat trauma para penyintas yang menyaksikannya. Maka tak heran jika Sabra yang merupakan tokoh fiksi buatan Marvel menuai kontroversi, sebab tragedi yang terjadi di Sabra dan Shatila sama sekali bukan tindakan heroik, melainkan pembunuhan massal terhadap warga sipil yang tak berdosa.
Tragedi Sabra Shatila 1982
Sejak Israel memulai penjajahannya atas Palestina pada 1948, penduduk Palestina yang terusir dari tanah air mereka terpaksa berdiaspora mencari tempat tinggal baru. Sebagian dari mereka mengungsi ke Lebanon Selatan kemudian menetap di kamp pengungsi yang bernama Sabra dan Shatila. Sebuah pilihan yang tak mereka sangka akan berbuah kematian.
Peristiwa Sabra Shatila tidak terlepas dari serangan pada Juni 1982 ketika pasukan militer Israel menyerang Lebanon Selatan dan mengepung Beirut karena Israel menuduh PLO mencoba melakukan upaya pembunuhan terhadap Duta Besar Israel untuk Inggris, Shlomo Argov. Sejatinya, serangan tersebut diizinkan dengan syarat pasukan Israel tidak boleh maju lebih dari 40 kilometer dari perbatasan Lebanon. Akan tetapi, aturan yang disampaikan oleh kabinet Israel melalui Menteri Menachem Begin tersebut mereka langgar. Di bawah komando Menteri Pertahanan Ariel Sharon, pasukan Israel menyerang hingga ke Beirut, Ibu Kota Lebanon; jelas-jelas melewati batas 40 kilometer yang ditetapkan.
Pada Agustus 1982, Bachir Gemayel dari Partai Falangis yang berisi orang-orang Kristen Maronit terpilih menjadi Presiden Lebanon. Akan tetapi, pada 14 September 1982, hanya berselang beberapa minggu setelah pengangkatannya, Gemayel tewas akibat bom yang diledakkan di markasnya yang berada di Beirut. Pembunuhan Gemayel memicu kemarahan dari orang-orang Lebanon, terutama dari orang-orang Kristen Maronit dari Partai Falangis yang sama dengan Gemayel. Dalam situasi yang memanas ini, Israel melalui Menteri Pertahanan Ariel Sharon bergerak menyusun ‘skenario’ dengan tujuan menambah penderitaan warga Palestina.
Pasca-terbunuhnya Presiden Bachir Gemayel, pengungsi Palestina menjadi sasaran kecurigaan tanpa dasar dari orang-orang Lebanon. Mereka menuduh bahwa pelaku pembunuhan Gemayel merupakan salah seorang muslim Palestina. Warga Palestina mendapatkan stigma buruk dari orang-orang Lebanon karena posisi mereka sebagai pengungsi. Situasi ini semakin mempermudah Ariel Sharon untuk ambil bagian dalam ‘menyutradarai’ rencana kejamnya dan menggunakan Partai Falangis Lebanon sebagai ‘eksekutor’ aksinya.
Meskipun pada akhirnya terbukti bahwa pelaku pembunuhan Gemayel adalah seorang Kristen Maronit asli Lebanon yang bernama Tanious Sharthouni, Sharon tidak peduli dan tetap menjalankan rencana yang telah disusunnya. Tujuannya tak lain adalah untuk menghabisi warga Palestina dan memperluas wilayah penjajahan Israel.
Darah Membanjiri Sabra Shatila
Pasukan Israel mengepung kamp Sabra dan Shatila pada 15 September 1982. Pintu keluar dan masuk dijaga ketat sehingga tidak ada yang bisa keluar atau masuk dari Sabra dan Shatila. Warga Palestina dan Lebanon yang tinggal di sana sempurna terkurung tanpa celah untuk melarikan diri. Tindakan ini merupakan persiapan untuk eksekusi yang akan dilaksanakan keesokan harinya oleh orang-orang Falangis Lebanon.
Pada 16 September 1982, milisi Falangis Lebanon memasuki kamp Sabra dan Shatila atas ‘restu’ dari Menteri Pertahanan Israel Ariel Sharon. Di sana, para milisi Falangis menyiksa, membunuh, memerkosa, bahkan memutilasi warga sipil, tak terkecuali perempuan dan anak-anak. Di balik aksi keji Falangis, terdapat andil militer Israel yang membantu dengan cara melepaskan tembakan ke langit untuk menerangi orang-orang Falangis yang sedang melancarkan aksi biadab mereka. Dalam sekejap, Sabra Shatila dipenuhi teriakan kesakitan, jeritan meminta tolong, dan digenangi lautan darah.
Jurnalis Amerika Janet Lee Stevens yang menyaksikan tragedi tersebut menggambarkan kengerian yang ia saksikan, “Saya melihat wanita mati di rumah mereka dengan rok sampai ke pinggang dan kaki mereka terbentang. Puluhan pemuda ditembak setelah berbaris di dinding gang; anak-anak dengan leher yang digorok, seorang wanita hamil dengan perutnya yang dibelah, matanya masih terbuka lebar, wajahnya menghitam, tanpa suara berteriak ngeri. Banyak bayi dan balita yang ditikam atau dicabik-cabik dan yang dibuang ke tumpukan sampah.”
Ribuan pengungsi Palestina menjadi korban jiwa dalam pembantaian brutal ini. Banyaknya korban dengan kondisi yang mengenaskan dan tidak lagi utuh membuat data spesifik yang dilaporkan berbeda-beda. Anadolu Agency pada 2020 menyebutkan bahwa jumlah korban mencapai 3000 jiwa yang terdiri atas warga Palestina dan Lebanon yang mayoritas merupakan penganut Syiah. Sementara itu, TRT World pada 2019 menyebutkan korban tewas dalam peristiwa ini berjumlah 3500 jiwa.
Milisi Falangis baru meninggalkan Sabra dan Shatila pada 18 September 1982, dua hari setelah pembantaian dimulai. Mereka meninggalkan kamp pengungsi yang penuh darah dan potongan-potongan tubuh setelah membuang mayat-mayat penduduk sipil dengan menggunakan buldoser. Para pemuda yang ditemukan dalam keadaan hidup, dibawa untuk diinterogasi oleh intelijen Israel. Di antara tawanan-tawanan ini kemudian ada yang dikembalikan kepada Falangis, beberapa di antaranya dieksekusi mati.
Ariel Sharon, Sang Jagal dari Beirut
Ariel Scheinerman atau lebih dikenal dengan sebutan Ariel Sharon, merupakan dalang di balik tragedi pembantaian Sabra Shatila yang menewaskan ribuan pengungsi Palestina. Ia dibesarkan dalam keluarga imigran Rusia di Palestina yang saat itu dikuasai Inggris dan bergabung dengan gerakan Zionis pada usia 14 tahun. Ia menjadi tentara pada 1947 saat usianya 19 tahun dan mulai ikut dalam pertempuran melawan tentara Yordania dalam pertempuran Latm pada 1948. Pada tahun 1953, Sharon mendapat jabatan sebagai kepala unit 101, sebuah kelompok komando yang ditugaskan untuk melakukan serangan balasan terhadap desa-desa di perbatasan Yordania.
Sharon melancarkan pembantaian pertamanya pada Oktober 1953, ketika ia menyerang Desa Qibyā di Tepi Barat yang menewaskan 69 warga sipil, mayoritas perempuan dan anak-anak. Dua tahun berselang, yaitu pada 1955, Sharon memimpin serangan terhadap pasukan Mesir yang menduduki Jalur Gaza. Serangan itu menewaskan 38 orang Mesir dan meningkatkan ketegangan antara Israel dan Mesir. Tragedi tersebut juga membuat Sharon mendapat julukan “Sang Buldozer”.
Sharon memulai karir politiknya pada 1973 dengan memutuskan bergabung dengan Partai Likud pimpinan Menachem Begin dan terpilih menjadi anggota Knesset (parlemen Israel). Pada Mei 1977 ia membentuk partai kecilnya sendiri, Partai Shlomzion yang berarti “Perdamaian di Sion”, kemudian diangkat menjadi menteri pertanian yang mensponsori pembangunan permukiman Yahudi di wilayah Palestina yang terjajah.
Dalam pembantaian Sabra Shatila tahun 1982, Sharon duduk di kursi “sutradara” yang menyusun skenario pembantaian dengan memanfaatkan stigma negatif kelompok Falangis Lebanon terhadap pengungsi Palestina. Wafatnya Presiden Lebanon Bachir Gemayel yang tewas dibunuh menjadi ajang Sharon untuk melancarkan aksinya dalam menghasut kelompok Falangis agar “membalaskan dendam kematian Gemayel” dengan membantai pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila, yang sebenarnya sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan tersebut. Rencana Sharon mendapat respon positif dari kelompok Falangis yang merasa mendapat dukungan untuk melancarkan aksinya. Maka, pada 16 September 1982, kelompok Falangis Lebanon menyerbu kamp Sabra dan Shatila dengan membabi buta, dengan bantuan militer Israel yang melepaskan tembakan ke langit untuk menerangi orang-orang Falangis yang membantai para pengungsi Palestina dengan keji. Dalam sekejap, Sabra Shatila berubah menjadi genangan darah, sehingga Sharon kemudian mendapat julukan “Sang Jagal dari Beirut”.
Terungkapnya bukti yang menunjukkan bahwa Sharon adalah dalang tragedi Sabra Shatila tidak serta merta membuatnya hengkang dari dunia politik. Mengejutkannya, meskipun dunia mengecam Ariel Sharon atas tindakan tidak berperikemanusiaannya dan menuntut agar Sharon dicopot dari jabatannya, kenyataan yang terjadi justru berbanding terbalik. Sharon masih tetap berkarir di pemerintahan, bahkan menjadi anggota kabinet selama periode 1984—2001. Lebih mengejutkan lagi, pada 2001, Sharon memenangkan pemilihan khusus yang menempatkannya menjadi Perdana Menteri Israel hingga ia mengalami koma pada 2006 dan meninggal pada 2014.
Kabar kematian Sharon disambut sukacita oleh para penghuni kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Mereka membagikan permen untuk ‘merayakan’ wafatnya pembunuh yang telah membantai keluarga dan kerabat mereka. “Saya ingin melihatnya diadili di hadapan dunia sebelum Tuhan mengadilinya,” kata Mirvat al-Amine, seorang pemilik toko di Shatila.
Pengungsi Palestina Saat Ini
Tragedi Sabra dan Shatila bukanlah tragedi terakhir yang menimpa pengungsi Palestina. Faktanya, hingga detik ini, kondisi pengungsi Palestina masih sangat memprihatinkan. Hingga Maret 2023, jumlah Pengungsi Palestina yang terdaftar di UNRWA Lebanon telah mencapai angka 489.292 orang. Data dari UNRWA juga menunjukkan bahwa total ada 31.400 Pengungsi Palestina asal Suriah yang tinggal di Lebanon, membuat kamp penuh sesak akibat populasi pengungsi yang membludak. Ditambah lagi, pendaftaran di UNRWA bersifat sukarela, sehingga seringkali kematian serta emigrasi tidak dilaporkan, meskipun pengungsi bisa mendaftarkan diri melalui sistem pendaftaran online UNRWA.
Di Lebanon, kondisi pengungsi Palestina sama sekali tidak lebih baik dari yang tinggal di wilayah Palestina. Pada Maret 2023, tercatat 80 persen pengungsi dilaporkan hidup di bawah garis kemiskinan nasional (disesuaikan dengan inflasi). Jumlah tersebut, apabila tidak memperoleh distribusi bantuan tunai triwulanan (dengan total nilai sebesar US$ 18 juta dalam dua putaran sejak Desember 2022), akan membuat tingkat kemiskinan melonjak ke angka 93 persen. Belum lagi ditambah dengan persepsi orang Lebanon yang menganggap bahwa pengungsi Palestina merupakan elemen asing dalam masyarakat. Para pengungsi tidak bisa mendapatkan kewarganegaraan Lebanon sehingga tidak bisa mendapatkan hak sebagaimana warga negara lainnya. Akibatnya, pengungsi Palestina tidak dapat bekerja di 39 profesi, tidak bisa memiliki properti, tidak memiliki akses ke pendidikan gratis, dan harus mendapatkan izin untuk membawa bahan bangunan ke dalam kamp dan merenovasi rumah mereka.
Pada akhirnya, kemiskinan dan aspek-aspek yang membuat para pengungsi menderita adalah hasil dari penyerangan Israel terhadap kamp pengungsian bertahun-tahun lalu. Di Lebanon khususnya, tingkat kemiskinan yang sangat tinggi di diperparah juga dengan diskriminasi struktural selama beberapa dekade terkait dengan kesempatan kerja dan penolakan hak untuk memiliki properti di Lebanon, ditambah dengan krisis ekonomi, fiskal, dan moneter yang terjadi baru-baru ini di negara tuan rumah. Hal ini berdampak pada generasi keempat Pengungsi Palestina di Lebanon yang tidak mampu mengumpulkan dan melestarikan kekayaan yang dihasilkan dan memasuki kategori pendapatan kelas menengah selain dari peluang kerja UNRWA.
Dengan kata lain, Sabra dan Shatila mungkin telah puluhan tahun melewati tragedi berdarah tersebut, namun segala kepahitan yang muncul setelahnya masih dirasakan oleh keturunan para penyintas, membuatnya menjadi luka lama yang tidak pernah mengering.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
https://www.unrwa.org/where-we-work/lebanon
https://adararelief.com/tiga-puluh-sembilan-tahun-tragedi-berdarah-sabra-shatila/
https://adararelief.com/tampilkan-superhero-israel-dalam-film-terbaru-marvel-menuai-kritik/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini
#Palestine_is_my_compass
#Palestina_arah_perjuanganku
#Together_in_solidarity
#فلسطين_بوصلتي
#معا_ننصرها