Nabi Muhammad Saw. adalah anak yatim. Di dalam Surat Ad Dhuha ayat 6 -10 menerangkan tentang pemeliharaan Allah Swt. terhadap Nabi Muhammad Saw. dengan kondisi beliau yatim serta adanya larangan berbuat buruk terhadap anak yatim. Sebagaimana Allah Swt. berfirman,
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَـَٔاوَىٰ
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?”
وَوَجَدَكَ ضَآلًّا فَهَدَىٰ
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.”
وَوَجَدَكَ عَآئِلًا فَأَغْنَىٰ
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”
فَأَمَّا ٱلْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.”
وَأَمَّا ٱلسَّآئِلَ فَلَا تَنْهَرْ
“Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.”
Salah satu amalan yang dicintai Allah dan akan diberi ganjaran berupa dikumpulkan di surga bersama Nabi Muhammad Saw. adalah menyantuni anak yatim. Apabila seorang muslim mempunyai kemampuan membiayai kehidupan anak yatim, memenuhi kebutuhannya sehari-hari, menyekolahkannya, dan memperhatikan masa depannya, maka Allah mudahkan jalan baginya menjadi ahli surga. Menyantuni anak yatim juga dapat membawa keberkahan dalam hidup seseorang.
Dalam pendidikan anak yatim ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni sebagai berikut:[1]
1.Pahala memelihara dan mendidik anak yatim
Kita kembali akan menyelami beberapa hadits Nabi Muhammad Saw. yang mampu menerangi jiwa dan mendorongnya untuk memberikan perhatian yang mendalam bagi pendidikan mereka yang telah kehilangan ayahnya sebelum usia baligh.
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَا وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئاً
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya.
(HR. Bukhari)
2. Menjaga harta anak yatim dan menginvestasikannya
Abu Syuraih Khuwailid Ibnu Amr Al-Khuza’i ra. Berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
اللهم إني أُحَرِّج حق الضعيفين، اليتيم والمرأة
“Ya Allah, sungguh aku menyatakan berdosa, orang yang menyia-nyiakan hak dua orang yang lemah, yaitu anak yatim dan wanita.”
(Hadits Hasan, diriwayatkan oleh Nasa’i)
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Arti uharriju adalah aku menyatakan berdosa bagi mereka yang menyia-nyiakan hak dua orang lemah di atas. Dan aku memperingatkan dengan sungguh-sungguh dan aku pun melarangnya dengan keras.”
Imam Muslim, Bukhari, Nasa’i dan Tirmidzi meriwayatkan bahwa ‘Aisyah ra. berkata, “Ada seorang laki-laki mempunyai seorang anak yatim, kemudian ia menikahinya. Ia memiliki beberapa pohon kurma. Dan wanita yatim tadi menjadi sekutunya. Kemudian ia menyimpannya, sedangkan ia tidak memiliki apa-apa, maka turunlah ayat,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
(Surat An Nisa ayat 3)
Dalam riwayat lainnya ‘Urwah bertanya kepada ‘Aisyah ra. tentang firman Allah Swt.,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
sampai ayat
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ
Maka, ‘Aisyah berkata, “Wahai anak Saudariku! Anak yatim ini berada di rumah walinya, kemudian ia tertarik dengan kecantikan dan hartanya, dan ia ingin mengurangi maharnya, maka mereka melarang untuk menikahinya, kecuali mereka berlaku adil kepada anak yatim tersebut dengan memberikan seluruh maharnya, dan kemudian diperintahkan menikah dengan selainnya. ‘Aisyah ra. berkata, ‘Kemudian orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Saw. setelah itu, maka turunlah ayat, وَيَسْتَفْتُونَكَ فِى ٱلنِّسَآءِ sampai وَتَرْغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ (Surat An Nisa ayat 127). Maka Allah Swt. menjelaskan kepada mereka bahwa perempuan yatim, jika memiliki kecantikan dan harta, mereka ingin sekali menikahinya, tanpa mengikutinya dengan menyempurnakan maharnya. Dan jika tidak senang karena tidak memiliki harta dan tidak cantik, mereka meninggalkannya dan mencari wanita lainnya. ‘Aisyah ra. berkata, ‘Maka sebagaimana mereka meninggalkannya karena tidak senang kepadanya, begitu pula tidak ada hak bagi mereka untuk menikahinya, ketika mereka menyukainya, kecuali mereka berlaku adil dan memberikan hak perempuan yatim dengan utuh.”
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari ‘Aisyah ra. tentang firman Allah Swt.
وَمَن كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِٱلْمَعْرُوفِ
“Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.”
(Surat An Nisa ayat 6)
Ini diturunkan kepada wali anak yatim, ketika mereka fakir, maka boleh memakan dari hartanya sekedar untuk kebutuhan.
Ibnu Abbas ra. Berkata, “Ketika turun firman Allah Swt.,
وَلَا تَقْرَبُوا۟ مَالَ ٱلْيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُۥ ۚ وَأَوْفُوا۟ بِٱلْعَهْدِ ۖ إِنَّ ٱلْعَهْدَ كَانَ مَسْـُٔولًا
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
(Surat Al Isra ayat 34)
Dan firman Allah Swt.
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَٰلَ ٱلْيَتَٰمَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
(Surat An Nisa ayat 10)
Ia berkata, ‘Ini terkait dengan siapa yang memiliki anak yatim. Ia memisahkan makanan dan minumannya dari makanan dan minuman anak yatim. Dan ia menjadikan sisa dari makanan dan minumannya. Ia biarkan sehingga dimakan anak yatim atau dibiarkan sampai rusak. Hal ini sangat berat buat mereka, sehingga mereka menjelaskannya kepada Rasulullah Saw., maka turunlah ayat,
فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ ۗ وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْيَتَٰمَىٰ ۖ قُلْ إِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۖ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَٰنُكُمْ ۚ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ ٱلْمُفْسِدَ مِنَ ٱلْمُصْلِحِ ۚ وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Surat Al Baqarah ayat 220)
Kemudian mereka mencampur makanannya dengan makanan anak yatim, begitu pula minumannya.
3. Pahala seorang ibu yang merawat dan mendidik anak yatimnya, sedangkan ia tidak menikah lagi
Abu Daud dan Abu Ya’la meriwayatkan dari ‘Auf Ibnu Malik bahwa Nabi Saw. bersabda, “Sata dan wanita yang hitam kemerah-merahan kedua pipinya, yang suaminya meninggal, kemudian ia sabar merawat anaknya, bagaikan dua jari ini besok di surga.” Abu Daud menambahkan, “Yang memiliki kedudukan dan kecantikan. Ia menahan dirinya (tidak menikah) untuk merawat anak-anaknya sehingga dewasa atau meninggal.”[2]
Dengan demikian, Nabi Muhammad Saw. sangat mencintai anak yatim sebagaimana beliau pun adalah seorang anak yatim sehingga siapapun yang merawat dan menyayangi anak yatim maka akan dimuliakan Allah Swt. dan kelak dikumpulkan bersama Nabi Muhammad Saw. di surga kelak.
Wallahu’alam
Fatmah Ayudhia Amani, S. Ag.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan Diploma in Islamic Early Childhood Education, International Islamic College Malaysia dan S1 Tafsir dan Ulumul Qur’an, STIU Dirosat Islamiyah Al Hikmah, Jakarta.
- Ir. Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid. 2004. Cara Nabi Mendidik Anak. Jakarta: Al-I’tishom. Hal. 312 – 317. ↑
- Dalam sanadnya ada An-Nahhs Ibnu Qahm, dia adalah Dhaif. ↑
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini